Ekpresi Cinta Sang Tunagrahita
“Jangan cintai
aku apa adanya...” sebaris lirik lagu
ini memiliki makna bahwa mencintai dan dicintai harusnya menuntut sesuatu yang
bertujuan kepada hubungan yang lebih baik. Lagu ini relevan terhadap apa yang
akan dibahas dalam tulisan ini yaitu mengenai kisah seorang penyandang
difabilitas mental yang walaupun sebagian besar orang menganggap mereka tidak
dapat merasakan nikmatnya cinta seperti kaum orang normal, namun ternyata
pernyataan itu tidak selamanya benar. Tulisan ini akan mengupas kenyataan yang
mengagetkan namun sekaligus mengharukan.
Sebut saja Imran Sembiring, seorang penyandang difabilitas
mental yang lebih tepatnya disebut ‘tunagrahita’. Sebagian dari kita memang
awam mendengar satu kata aneh tersebut, karena memang kata ‘tunagrahita’ jarang
digunakan di kehidupan sehari-hari. Tunagrahita merupakan individu yang
memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai
dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
Tunagrahita lebih akrab dimaknai sebagai keterbelakangan mental.
Mengapa membahas tunagrahita? Sebuah pertanyaan yang unik sama
halnya dengan topik yang akan dibahas. Ya, menarik untuk ditelusuri lebih dalam
khususnya tentang hal menjalin komunikasi antar individu bahkan kepada
lingkungan sekitar. Karena berbeda dengan konteks umum yang membahas jalinan
hubungan komunikasi individu yang objek nya adalah orang normal, sementara saat
ini akan lebih menekankan pada kaum terbelakang yang mungkin dipandang sebelah
mata, namun menyimpan sejuta kisah tak terduga.
Sang penyandang tunagrahita yang bernama Imran ini berdomisili
di Desa Pandan 1, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Salah
satu desa yang berada di dataran tinggi dan dikelilingi dengan pegunungan. Hal
tersebut mempengaruhi kehidupan sosial Imran. Budaya bertani sudah melekat dan
menjadi hakekat masyarakat yang berada di pegunungan sehingga Imran pun mau
tidak mau mengikuti pola hidup masyarakat sekitar.
Sekitar bulan Oktober 2013, hal yang tak lazim dialami oleh
penyandang tunagrahita pada umumnya terjadi pada Imran. Pada usia yang dianggap
sudah terbilang matang, akhirnya orangtua Imran memutuskan untuk menjodohkannya
dengan seorang wanita normal dari desa seberang. Karena mereka menganggap bahwa
Imran memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Dari pernikahan tersebut,
Imran dan istrinya pada akhirnya memiliki seorang anak dan hal tersebutlah yang
menarik perhatian penulis. Pernikahan antara penyandang tunagrahita dan seorang
normal merupakan fenomena langka di era yang sangat menjunjung tinggi
kepentingan pribadi. Kehidupan rumah tangga Imran dan istrinya berjalan normal
layaknya rumah tangga biasa, karena meskipun memiliki keterbelakangan mental
dan sulit menjalani komunikasi dengan oranglain, namun uniknya Imran masih
memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga.
Setelah melihat sekilas perjalan hidup Imran diatas, kita dapat
mengambil pelajaran bahwa seorang penyandang cacat tertentu dalam hal ini
tunagrahita, lantas tidak selamanya cacat dalam semua aspek kehidupan.
Buktinya, Imran yang meiliki keterbelakangan mental dan kesulitan berkomunikasi
seperti manusia normal pada umumnya ternyata mampu mengekspresikan perasaannya
melalui tindakan tertentu yang cenderung lebih tulus dibadingkan dengan orang
yang mampu berkomunikasi seperti kebanyakan orang pada umumnya. Imran
mengekspresikan rasa tanggung jawab yang dimilikinya sebagai kepala rumah
tangga dengan bekerja semampunya. Imran memang jauh dari kata ‘sempurna’ karena
ketidakmampuannya berkomunikasi melalui kata-kata, tetapi tindakan yang
dilakukan Imran berbicara lebih lantang dari pada sekedar kata-kata yang sering
manusia normal ungkapkan.
Komentar
Posting Komentar