CINTAKU SEMANIS CHOCOLATE COOKIES
Pagi itu udara segar dirasakan seorang
pria yang bernama lengkap Aditia Wijaya. Semangat baru yang dirasakannya
membuat ia tidak sabar menunggu kesan indah yang akan dialami di sekolah
barunya. Mengingat Adit baru saja lulus dari bangku Sekolah Menengah Pertama,
dan kini melanjutkan pendidikannya di salah satu SMA terbaik di kota yang masih
asing baginya, Kota Yogyakarta.
“Hari ini harus menjadi hari yang lebih baik dari kemarin,”
gumam Adit dalam hati.
Kepercayaan yang selalu terngiang dalam
benak Adit untuk mengawali setiap hari ialah selalu mengucapkan hal-hal yang
positif sehingga hal tersebut yang akan terjadi dalam kesehariannya. Begitulah
yang selalu dikatakan ayahnya yang sekarang sudah berada dipangkuan Sang Pencipta.
Sedih memang, namun Adit selalu berusaha menutupi kesedihan dan kepiluan
hatinya setiap kali kenangan itu terngiang. Tragedi yang merenggut nyawa dua orang
yang ia sayangi yaitu ayah dan ibunya. Setelah kedua orangtuanya meninggal
dunia, Adit hidup sebatang kara namun kesendiriannya saat ini tidaklah menjadi
penghalang baginya untuk tetap berprestasi. Saat ini pun, Adit bisa melanjutkan
pendidikannya berkat prestasinya yang membanggakan, sehingga ia mendapat
beasiswa dan tunjangan anak yatim piatu dari sekolahnya dulu.
“Hei!!!” teriak seorang gadis dari kejauhan sambil berlari
kecil menghampiri Adit.
“Ya, Mbak?” balas Adit sambil menoleh dan senyumnya pun
mengembang karena setidaknya ada orang yang menyapanya di hari pertama ia
menjadi murid SMA walaupun ia tidak mengenal gadis itu sama sekali.
“Tas lu kebukak tuh, dasar kampungan banget sih! Hahaha. Tas
aja di kancingin pakai peniti, emang lu kira baju?” sindir Laras dengan nada
meledek dan dengan cepat berpaling setelah Laras melihat teman-temannya
melambaikan tangan ke arahnya.
“Terimakasih, Mbak” balas Adit kaku, bingung bagaimana harus
membalas ledekan gadis itu yang merusak bayangannya akan kesan pertamanya di
lingkungan baru. Setidaknya ia masih memiliki waktu yang banyak untuk menemukan
kesan baik dan menutupi kesan buruk yang tidak dapat dipungkiri pasti akan
terjadi pula.
* Lantunan
instrumen lagu Für Elise berkumandang
ke seluruh sekolah menandakan kelas akan segera dimulai *
“Lagunya keren ya!” kata seorang gadis lugu bernama Amel
sembari membuka isi tasnya.
“Heh, keren apaan? Lu
emang ga tau kalo lagu ini dipakai buat film horor? Ketinggalan zaman banget sih
lu,” sindir Laras dengan suara lantang sehingga terdengar ke seluruh kelas.
“Siapa bilang? Musik ini adalah salah satu lagu klasik
terbaik yang dihasilkan oleh pemusik terkenal bernama Beethoven. Memang pernah
dijadikan sebagai backsound film horor tapi bukan berarti lagu ini menyeramkan”
terang Adit sembari mencari tempat duduk.
Sekarang Adit duduk disamping Amel
tepat di depan bangku Clarissa. Dengan wajah muram Clarissa menatap Adit lekat
sampai akhirnya seorang wanita dengan tubuh ideal dan menggunakan kacamata
kotak datang. Clarissa masih geram dengan Adit namun tidak tahu apa yang ingin dikatakannya
untuk membalas seorang anak baru yang membuatnya terdiam. Seakan otaknya kaku
dengan penjelasan panjang yang dilontarkan Adit padanya.
“Selamat pagi anak-anak. Wah senang rasanya bertemu dengan
wajah-wajah baru. Nah untuk mengawali pertemuan kita pagi ini, ibu sudah
membuat denah kelas sepanjang satu semester. Kalian bisa melihatnya kedepan dan
langsung duduk dengan teman sebangku kalian. Ibu sengaja membuatnya supaya
kalian semua bisa saling mengenal. Oya, nama ibu adalah Melisa. Ibu disini
sebagai wali kelas kalian.”
“Iya, Bu Melisa” serentak semua siswa-siswi yang berada di
kelas X-A mengiyakan pesan wali kelas mereka yang sekaligus juga menjadi guru
Seni Budaya.
Semua anak
sibuk mencari pasangan sebangku mereka namun Clarissa tetap terdiam di
bangkunya. Ia masih mengingat kejadian di depan gerbang sekolah tadi pagi.
Entah mengapa ia kepikiran dengan perkataannya yang menyakitkan hati Adit. Rasanya
ingin saja ia mengucapkan permohonan maaf pada anak baru itu, namun ia bingung
bagaimana harus memulai percakapan dengan pria yang jenius dan mampu membungkam
bibirnya sampai tidak bisa melawan.
“Hai, salam kenal. Namaku Adit. Ngomong-ngomong, tadi aku
sudah bilang makasih untuk kejadian tadi pagi. Tapi mungkin kamu tidak sempat
mendengarnya,” kata Adit memulai percakapan dengan gadis belagu yang sekarang
menjadi teman sebangkunya.
“Clarissa,” kata gadis itu memperkenalkan namanya dengan
nada ketus.
“Oh ya, Clarrisa. Ica? Caca? Atau Clarris?” tanya Adit
dengan nada lembut.
“Hahaha. Panggil aku Caca. Ngomong-ngomong, aku mau minta
maaf buat kejadian tadi pagi. Aku ga niat
buat....” balas Clarrisa dengan tertawa lepas namun seketika merasa bersalah
disaat mengingat kejadian tadi pagi.
“Bukan salah kamu, Ca. Tenang aja,” kata Adit memotong
pembicaraan Clarrisa.
Hari itu
menjadi kesan yang cukup menyenangkan bagi semua remaja yang sedang merasakan
kebahagian sekolah baru, khususnya Adit. Bertemu dengan teman baru menjadi kunci
utama untuk merasakan kenyamanan berada dalam lingkungan yang masih asing bagi
Adit, ditambah lagi ia hidup sebatang kara di kota pelajar ini. Bersyukur. Satu
kata yang mungkin menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini.
“Pagi, Ca. Kamu kemana aja seminggu ini? Gimana tugas
matematika kamu udah selesai, belum?” sapa Adit sekaligus menanyakan perihal
tugas yang telah seminggu diberikan.
“Bukan urusan lu, Dit. Lakuin aja yang lu pengen kerjain,
gausah peduliin gue!” balas Clarrisa dengan nada kesal.
“Ca, hidup kamu emang urusan kamu. Tapi kamu jangan pernah
halangin orang lain buat peduli sama kamu. Bersyukurlah Ca, selagi kamu punya
banyak orang yang care sama kamu. Sebelum
kamu kehilangan mereka,” kata Adit cepat sambil berlalu.
Adit bingung
mengapa ia ikutan kesal pada Clarrisa. Padahal tidak seharusnya Adit ikut
campur urusan hidup gadis itu. Gadis yang membuatnya serba salah. Entah mengapa
perasaan Adit tidak menentu disaat mengingat wajah Clarrisa yang terlihat
sedang sedih dan memiliki masalah. Apalagi sudah seminggu gadis itu tidak pergi
ke sekolah.
* Lantunan
instrumen lagu Für Elise kembali berkumandang ke seluruh sekolah menandakan kelas akan
segera dimulai *
Tidak terasa
sudah sebulan berlalu, suasana sekolah saat ini tidaklah sama dengan pertama
kalinya. Rasa nyaman sudah mulai terlihat dari senyuman setiap insan remaja
yang bersekolah di SMA Pandu Wacana tersebut. Taman belakang sekolah menjadi
tempat nongkrong siswa-siswi dari tiap angkatan, hanya beberapa anak baru yang
terlihat kaku dan canggung dengan kakak kelasnya, termasuk Adit. Sehingga Adit
memilih untuk pergi dari taman belakang dan beralih ke pintu gerbang bagian
depan sekolah. Dahulu, puluhan anak berlarian karena takut akan berada dalam
catatan Guru BP. Tetapi karena hari ini adalah menjelang Hari Peringatan
Kemerdekaan Bangsa Indonesia, sehingga semua murid sibuk menghiasi kelas karena
ada perlombaan-perlombaan yang salah satunya adalah perlombaan menghias kelas.
“Dit, lu ikut gue sekarang! Gue bakal tunjukin suatu hal
yang ga akan lu lupain dalam hidup lu,” kata Clarrisa dengan semangat sambil
menarik tangan Adit keluar dari kelas.
“Kita mau kemana, Ca? Kan kita mau hias kelas,” kata Adit
bingung sambil berlari kecil dengan gunting yang masih berada di tangan
kanannya.
“Lu mendingan diam aja deh, Dit. Berisik banget tahu ga
sih!” balas Clarrisa sambil tetap menggandeng tangan Adit.
Sampailah
akhirnya dua remaja belia ini pada sebuah toko yang berlogokan gambar cinta dan
kue dengan tulisan di spanduknya “Love Chocolate Cookies”. Sebuah toko kue yang
didalamnya tersimpan beragam jenis kue kering yang menarik perhatian setiap
orang yang berdatangan atau hanya sekedar lewat. Lokasinya strategis,
dikelilingi pula dengan beberapa cafe yang menjadi tongkrongan anak muda dan
tepat berada di seberang SMA mereka.
“Ca, kita ngapain di sini?” tanya Adit kebingungan sambil
melihat sekitarnya.
“Nanti gue ceritain deh. Lu tunggu di sini ya,” balas Clarrisa tanpa menjawab.
“Nanti gue ceritain deh. Lu tunggu di sini ya,” balas Clarrisa tanpa menjawab.
Adit masih
bingung dengan jalan pikiran Clarrisa mengapa ia tiba-tiba membawanya ke tempat
dengan beragam kue kering yang nikmat seperti di depan matanya saat ini.
Kebetulan Adit sangatlah merasa kelaparan sehingga ia berencana untuk kembali
ke sekolah dan makan di kantin. Mengingat kalau Adit di kantin, ia bisa saja
mengutang dengan Ibu Minah sang pemilik warung prasmanan yang sering menjadi
langganan Adit. Namun seperti yang dikatakan Clarrisa bahwa hari ini adalah
hari yang tidak akan pernah terlupakan bagi Adit, sehingga ia menuruti apa yang
menjadi permintaan gadis itu.
“Ini alasan kenapa aku ga masuk kelas, Dit.” kata Clarrisa
dengan menyadarkan khayalan Adit.
Clarrisa
keluar dengan dandanan yang cantik dan lucu. Tubuhnya yang ideal dan
senyumannya yang hangat membuat Adit sulit berkata-kata. Baju yang dikenakan
Clarrisa merupakan seragam pelayanan ala cafe di Eropa. Dengan rambut yang
dikuncir satu dan dengan bandana di kepala membuat gadis itu terlihat berbeda
dari biasanya.
“Ca? Ka.. Kamu? Kok?” kata Adit dengan nada terputus-putus.
Adit tidak bisa menutupi perasaannya, bukan karena melihat
penampilan Clarrisa yang mencuri perhatiannya tetapi karena kemandirian dan
cerita hidup seorang gadis penuh misteri yang sekarang berada di sampingnya.
“Hahaha. Pasti kamu terkejut kan mendengar cerita hidupku?
Itu masih sepenggal, Dit. Masih ada banyak episode-episode lainnya,” kata
Clarrisa setelah panjang lebar menceritakan hidupnya pada Adit.
“Dan terus? Kita ngapain sekarang disini?” balas Adit yang
sembari tadi kebingungan.
“Aku akan ajarin kamu buat cookies, Dit. Kue yang dibuat dengan
rasa cinta dan kasih sayang. Hahaha,” kata Clarrisa dengan senyum yang
mengembang.
Sejenak
percakapan terhenti dan keduanya terdiam. Beberapa menit, pikiran mereka
bergulat. Keduanya sibuk mencari satu kalimat atau bahkan satu kata untuk
memulai kembali percakapan mereka yang sempat terhenti. Sementara Clarrisa
sibuk mengaduk adonan tepung dan telur, Adit mengambil kesibukan untuk mencari
cokelat untuk dilelehkan dan dicampur dengan adonan. White chocolate, begitulah nama cokelat yang tertera jelas di
kemasan cokelat batangan yang dipilih Adit.
“Ca, buka mulutnya. Bilang aaaa..,” kata Adit membujuk.
“Adit, apaan sih kamu iseng banget. Dasar kamu ya, tunggu
pembalasanku!” kata Clarrisa sambil mengunyah cokelat putih yang disodorkan
oleh Adit dengan paksaan.
“Hahaha. Wajah kamu kaya tomat, Ca. Merah banget tuh pipi,”
ledek Adit sambil nyengir.
“Apa? Dasar!! Rasain nih!” kata Clarrisa kesal dengan
melempar sisa tepung yang berada di atas meja.
Siang menjelang sore itu, dua sahabat
yang sedang merasakan damainya cinta tak kuasa menahan rasa bahagianya. Senyum
dan tawa lepas yang mereka lontarkan melalui ledekan-ledekan membuat waktu
terasa cepat berputar. Disaat dimana awalnya mereka merasakan layaknya cokelat
yang ketika dirasakan pahit, begitupula hubungan mereka yang diawali dengan
pertengkaran. Namun seperti halnya chocolate cookies yang manis layaknya cinta,
harus ada perjuangan antara keduanya untuk sama-sama menyadari bahwa kedamaian
dan kenyaman antara keduanya harus dipertahankan tetap manis semanis chocolate
cookies.
Komentar
Posting Komentar