Review Short Movie : Behind The Mask




Berbicara mengenai short movie atau film pendek merupakan hal yang cukup menarik jika diperbincangkan oleh kalangan pencinta film. Tentu menjadi kesan tersendiri bagi penulis yang dapat menjadi salah satu penikmat beberapa film pendek yang ditanyangkan pada sebuah program pemutaran film beserta diskusi bersama beberapa pembicara seperti Novi Kurnia (Juri ReelOzInd sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi UGM), Dery Prananda (Sutradara Amelis), Niken Pamikatsih (Produser Miner’s Walk : Supeno) yang diselenggarakan oleh Festival Film Pendek pada tahun ini yang dikenal dengan ReelOzInd. Festival tersebut merupakan sebuah ajang kompetisi perfileman yang diwarnai dengan latarbelakang kolaborasi persahabatan antar dua negara tetangga yaitu Australia-Indonesia.

Johan Ramandias, tampil sebagai sutradara salah satu film pendek yang ditayangkan pada ReelOzInd, Jumat 16 September lalu. Dengan mengangkat cerita yang menarik dengan alur sederhana namun tidak kehilangan pesan moral dengan mudah didapat oleh penonton awam dalam mengonsumsi film pendek karya Johan tersebut. Mengingat bahwa salah satu tujuan terciptanya karya film ialah bahwa adanya moral value  yang dapat di-encode oleh komunikator terhadap film yang disajikan untuk komunikan. Uniknya film pendek ini merupakan salah satu film kolaborasi Australia-Indonesia yang merupakan negara tetangga secara letak geografis. Film pendek ini dihasilkan oleh produser dan sutradara yang sama yaitu Johan Ramandias. Dikatakan kategori film pendek karena durasi yang terbilang singkat yaitu 9 menit 57 detik. Sebagai penulis naskah, Wenny Sunarharum dengan lihai menonjolkan kebudayaan yang bisa dibilang kontras namun tetap menarik.

Dalam film pendek karyanya, Johan menggunakan dua subtitles yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Mengingat bahwa film pendek ini merupakan film kolaborasi yang tentunya di putar di beberapa negara selain Negara Indoesia dan Negara Australia itu sendiri. Dengan menggunakan bahasa universal yaitu Bahasa Inggris akan memudahkan penonton dalam memaknai pesan yang berusaha disampaikan sutradara kepada konsumen filmnya. Karena dalam memaknai suatu pesan khususnya dalam konteks perfileman, memang tidaklah semudah dengan pengambilan makna dalam konteks komunikasi biasa. Juga akan ada noise yang ditimbulkan, bisa saja dalam segi teknis pembuatan film tersebut atau mungkin dalam segi pemahaman dalam meng-decoding makna yang biasanya tersirat dalam film, baik yang full movie atau short movie.

Behind the Mask, begitulah Johan Ramandias memberikan judul pada film pendek karyanya ini. Diawali dengan pengenalan seorang wanita berkebangsaan Indonesia yang merasa dirinya sendiri sekalipun di tempat keramaian karena tempat ia berdomisili saat itu bukanlah di tempat tinggal aslinya. Kebetulan latar tempat yang dipakai dalam film pendek ini ialah di Negara Australia. Ari, begitulah nama wanita tersebut. Ia adalah seorang penari yang beberapa waktu yang lalu kehilangan topengnya. Topeng disini ialah sebuah alat yang dipakai Ari setiap kali ia menari dalam suatu pertunjukan seni. Dalam film pendek ini, terlihat bahwa Ari merasa kehilang kepercayaan dirinya setelah topeng itu tidak berada di gengamannya lagi. Semangat hidupnyapun seolah-olah terikut dengan bayang-bayang topengnya yang hilang. 

Demi melanjutkan pendidikannya, Ari tetap mencoba meneruskan kegiatannya yang cenderung monoton. Karena ia mengalami culture shock atau geger budaya sehingga membuat dirinya sulit untuk terbuka dengan oranglain yang berada di sekelilingnya. Padahal tanpa dia ketahui, bahwa pandangannya tidaklah seperti yang terjadi pada realitas. “Andai topengku kembali, dan aku tak merasa sendiri” pernyataan ini merupakan cuplikan perkataan Ari yang menunjukkan bahwa dia merasa bahwa hidupnya akan kembali normal apabila topengnya kembali ke tangannya seperti dahulu. Seperti mendewakan topeng tersebut, Ari seakan tidak bisa lepas dari sikap tertutup yang terkadang sengaja ditampilkannya dengan tidak banyak bicara dengan orang lain. Terlihat disaat seorang temannya yang selama ini diam-diam memperhatikan Ari dan ingin berinteraksi dengannya. Wanita tersebut berkebangsaan Australia sehingga mereka menggunakan Bahasa Inggris dalam berkomunikasi. Tidak ada yang menjadi masalah sebenarnya, namun karena Ari menutup diri sehingga relasi yang dibangun tidak membuahkan hasil pada pertemuan pertama tersebut.

Tidak berhenti disitu saja, seorang wanita berkembangsaan Australia tersebut kembali lagi menghampiri Ari di tempat pertama kali mereka bertemu. Kali ini dengan mengembalikan buku Ari yang terjatuh saat mereka berinteraksi pertama kalinya. Mengejutkan, wanita tersebut memberikan sebuah topeng yang adalah milik Ari yang selama ini dia inginkan. Ari tersenyum dan merasa bahagia ditambah kebetulan wanita berkebangsaan Australia yang bernama Jane tersebut juga adalah penari. Kejadikan tersebut merupakan awal persahabatan mereka. Dua wanita yang berbeda budaya dan adat namun karena mereka berkecimpung di dunia hobi yang sama sehingga hal itulah yang menjadi pemersatu kedekatan mereka. Tidak disangka bahwa Ari dan Jane akan menjalin persahabatan melalui konflik sosial dan budaya.

“Kata bapakku, terkadang manusia bersembunyi dibalik topeng. Dan kita bisa saja salah menilai dari apa yang kita lihat. Kini sudah ku temukan jati diriku, tak perlu topeng lagi dalam realita. Tetanggaku teman baikku. Ya kami memang berbeda, tapi kami bisa bersama dalam harmoni”. Film pendek tersebut behasil ditutup dengan pengungkapan pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara secara gamblang. Dibalik keunggulan film pendek ini, terdapat pula sisi kekurangan yang tentu berjalan beriringan dalam sebuah karya. Penulis sebagai penikmat film pendek ini merasa ada kekurangan dibidang teknis sinematografi yang didalamnya melingkupi salah satunya ialah akting. Ari yang adalah wanita berkembangsaan Indonesia kurang menghayati perannya sebagai sosok wanita yang kesepian. Sehingga bisa jadi penonton tidak terlalu terikut masuk dalam alur cerita yang seharusnya apabila kita menikmati suatu tayangan film, kita pasti akan merasa seolah-olah pemeran utama dalam film tersebut. Namun ekspresi dan gesture yang ditampilkan peran Ari kurang “menusuk” hati penonton.

Mengkritisi pemain yang berasal dari Negara Australia yaitu Jane, penulis juga melihat hal yang sama dalam tokoh Jane tersebut. Ada beberapa ekspresi wajah yang kurang ditonjolkan khususnya dalam memperlihatkan perbedaan kebudayaan yang jelas berbeda. Perbedaan dua belahan dunia yang secara tidak langsung mempengaruhi tokoh dalam memerankan lakonnya. Karena perbedaan tersebut bukan hanya terlihat secara fisik namun juga dalam memainkan emosi. Mengingat bahwa isu yang diangak dalam film pendek ini merupakan isu sosial budaya yang didalamnya tentu seharusnya menonjolkan kebudayaan yang kontras. Sangat disayangkan dalam penyajiannya, film pendek ini belum berhasil menunjukkan kebudayaan antar dua negara tetangga tersebut terlepas dari adanya persamaan terkait sosial budaya Indonesia-Australia. Namun secara keseluruhan, film pendek karya Johan Ramandias dengan judul “Behind the Mask” ini menarik untuk ditonton sekaligus patut diapresiasi seperti yang sudah tercantum, bahwa film pendek ini mendapat penghargaan sebagai“Special Mention Collaboration” di Festival Film Pendek 2016 oleh ReelOzInd.

                                                                                                   



Komentar

Postingan Populer