Kenangan Tak Berujung
Kiring..kring..kring!!! Tepat jam 4.01 aku terbangun. Tersentak akan jam yang menandakan waktunya untuk
bergegas, aku langsung terkesiap dan mengambil langkah panjang menuju kamar
mandi. Rekor bangun pagiku kali ini terlambat 1 menit. Aku langsung kehilangan
sedikit semangatku, karena seharusnya aku bisa menaati setiap peraturan yang
telah kutetapkan sendiri. Mungkin karena akhir-akhir ini aku terlalu sibuk
memikirkan oranglain yang belum tentu juga akan memikirkanku.
“Dit, apa
kabarmu nak?” suara lembut dari kejauhan terdengar sendu.
“Jangan
mengkhawatirkanku ma, aku baik-baik saja kok” jawabku sembari memakai sepatu
dan menempelkan telepon genggam di antara telinga dan bahuku.
“Apa kamu
masih ingat ini hari apa?” kembali suara itu terdengar lirih, namun kali ini
lebih dalam dari sebelumnya.
Hingga....
tes....Air
mataku jatuh ketika tersadar hari itu tepat hari senin. Hari dimana banyak
orang merasa hidupnya dimulai dengan beban yang bertubi-tubi dan mau tidak mau
menjalaninya sebagai awalan sepanjang minggu.
“Ma, aku
mau pergi bekerja. Jangan khawatirkan Adit ya. Daa..” begitu balasan ku ketika
teringat akan hari ini.
Bukan.
Bukan hanya karena hari ini hari senin. Aku malah suka dengan hari senin, hari
dimana hidup baru kembali dimulai. Kesempatan untuk menunjukkan kelebihan
kepada kekurangan yang dialami sebelumnya.
*Jam menunjukkan
pukul 4.00 dini hari*
“Kue mangkok. Bentuknya yang khas, warna yang
beragam serta diikuti dengan rasa dan aroma yang memikat. Bahagia disaat
mencicipi kehangatan dan kelembutan setiap gigitannya. Terbuat dari adonan
tepung dan gula yang dapat menambah semangat dikala sedang mencicipinya.”
Kalimat
itu kembali terngiang pada saat aku termenung sembari berjalan mengitari jalan
biasa yang kulewati setiap hari. Entah mengapa, apa mungkin karena hari ini
adalah hari peringatannya? Tapi aku tidak mau kembali ke masa lalu. Aku tidak
mau ada dimasa itu. Masa-masa dimana aku kehilangan segalanya. Jadi korban
keegoisan takdir yang tidak memihakku sama sekali. Entahlah, aku sangat benci
masa lalu.
Sepanjang
jalan itu terlihat tidak biasa. Aku tidak tahu apa yang membedakan hari ini
dengan hari-hari sebelumnya. Mungkin karena kenangan itu tiba-tiba terlintas
dan kadar semangatku sudah berkurang lebih banyak dari sebelumnya. Tidak, aku
tidak mau menenggelamkan diriku dalam kenangan buruk itu lagi.
Lamunan
ku berhenti disaat sosok gadis kecil riang yang memegang salah satu bagian dari
masalalu ku.
“Mengapa semua
terasa menyuruhku untuk kembali? “ gumamku dalam keheningan.
“Halo om,
mengapa kau terlihat sedih?” tanya gadis kecil itu dengan polos sambil menguyah
potongan kecil kue mangkoknya dan menyodorkan kue tersebut padanya.
“Oh
tidak, terimakasih. Aku dapat membelinya nanti” kataku dengan sedikit senyuman.
“Baiklah,
tapi jangan sedih lagi ya.. Daah..” gadis itu berlalu sambil tetap menguyah kue
mangkok berwarna pink muda yang selaras dengan bajunya.
***
11
Januari 2011, lingkaran kalender usang itu masih ada didepan meja kamarku. Aku
memutuskan untuk cuti bekerja hari ini. Aku tidak bersemangat. Sama sekali
tidak. Aku memilih untuk menenangkan pikiranku sejenak, dan berharap hari esok
tidak akan seperti ini lagi. Lagi-lagi
aku tidak sadar sudah berdiam selam kurang lebih 2 jam. Dikamar kecil yang
belum sempat kurapikan. Ini memang bukanlah diriku. Aku berubah. Aku berbeda.
Bukan adit yang dulu. Aku sadar dan aku tahu itu, tapi aku memilih untuk
pura-pura tidak tahu dan membuka lembaran baru.
Rasa
lapar dan haus entah mengapa tidak dapat kurasakan lagi. Sepanjang perjalananku,
keluar dan kembali masuk ke kamar, tidak ada yang bisa kurasakan selain
perasaan sedih. Tanpa kusadari air mataku menetes lagi. Tiba-tiba aku
mengingini kasih sayang dari orang-orang yang aku sayangi. Memang terlihat
egois, tapi jujur saat ini aku membutuhkan orang-orang di kenangan masa lalu
itu.
“Ma, papa
kenapa boboknya lama banget?” kataku dikala berumur 5 tahun.
“Dit,
papa sayang adit. Tapi, papa lagi lelah. Jadi biarin papa bobok ya nak” ucap
mama sambil menahan air mata untuk tidak menangis di depanku.
Tapi
tetap saja, mama tidak bisa menutupinya. Papa pergi. Bukan untuk 2 hari, 2
minggu, 2 bulan, atau bahkan 2 tahun. Papa pergi untuk selamanya. Dan sampai
umurku 19 tahun hari ini, aku masih belum bisa menerima papa meninggalkanku.
Tepat di hari ulangtahunku, papa meninggal.
“Pa..
Kalo adit uda gede, adit mau buat kue kayak papa. Adit mau punya rumah kue.
Adit bakalan kasi semua orang kue mangkok yang kayak papa buat ini”
Kata-kata
itu. Mimpi seorang bocah kecil yang tidak tahu masa depan. Bocah yang belum
mengerti apa-apa. Papa hanya tersenyum dan mengucapkan sebuah kalimat panjang
yang sampai sekarang aku dapat membayangkan bagaimana kata demi kata tersebut
diucapkannya.
“Kue
mangkok. Bentuknya yang khas, warna yang beragam serta diikuti dengan rasa dan
aroma yang memikat. Bahagia disaat mencicipi kehangatan dan kelembutan setiap
gigitannya. Terbuat dari adonan tepung dan gula yang dapat menambah semangat
dikala sedang mencicipinya.”
Aku hanya
mengangguk disaat papa mengatakan kalimat itu. Hingga aku mengerti sekarang
setelah papa meninggalkan surat untukku. Papa berpesan untuk meneruskan usaha
kue mangkok ini dan mewujudkan mimpiku membuat rumah kue mangkok.
Sekarang,
setelah mimpi sederhana itu terwujud. Aku tidak tahu harus mengatakan pada siapa.
Mama jauh dariku dan sekarang sibuk dengan keluarga barunya. Aku tinggal
bersama bibik pembantuku dulu. Dan aku memilih pergi darinya. Aku kecewa. Aku
sangat kecewa. Tapi aku tidak mau mengingat itu lagi. Cukup. Ini hidupku dan
kuawali sendiri. Aku tidak masalah. Aku bisa sendiri.
***
“Dit,
kamu dimana sekarang? Aku dengar, kamu sudah punya usaha rumah kue ya?” kalimat
itu terucap dari salah satu temanku setelah mengaku namanya Revan.
Karena
aku memang tidak mengingat siapapun pada masa sekolah dulu. Sama sekali tidak.
Oh bukan, ada satu. Hanya satu. Gadis ceroboh yang entah dimana sekarang.
“Dit?”
suara Revan mengagetkanku dan membuyarkan lamunanku tentang gadis itu.
“Ooh ya,
benar. Maaf” jawabku.
“Lalu,
hubunganmu dengan Cecil? Apa kalian masih bersama?”
Cecil.
Nama itu. Gadis ceroboh itu. Entahlah, aku sudah menunggunya. Tapi dia
mengingkari janji kami. Janji membangun rumah kue bersama. Aku mengenalnya
disaat duduk di bangku SMA. Dia sangat ceroboh dan tidak bisa diam. Berbeda
denganku yang menjadi sosok misterius semenjak keluargaku meninggalkanku.
“Aku
cecil.” Katanya dengan suara melengking yang membuatku terganggu.
“Adit”
balasku sambil berlalu.
Tidak ada
yang special bersamanya sampai suatu ketika kami memiliki kesamaan latar
belakang keluarga yang tidak sempurna. Orangtuanya bercerai dan dia tinggal
bersama ibunya. Namun kasih sayang yang diinginkannya tidak pernah terwujud.
Sampai akhirnya, kami bertukar cerita.
“Ooh,
jadi itu yang membuatmu pendiam? Tapi aku suka lo, kue mangkok buatanmu” kata
Cecil sembari memakan kue mangkok yang sekarang tinggal satu gigitan.
“Apa kau
mau membuka usaha bersamaku?” pintaku tanpa sadar setelah tahu dia juga
menyukai kue mangkok buatanku.
Aku tidak
meminta lebih. aku hanya ingin dia mendampingiku untuk membangun rumah kue
seperti mimpiku 20 tahun yang lalu. Tapi kenyataan berkata lain. Dia pergi
meninggalkanku. Entah dimana. Entah mengapa. Alasan yang mungkin pilihan yang
terbaik bagi dirinya. Aku merelakannya, walau sakit. Sudah genap 20 tahun kami
tidak bertemu sampai suatu ketika.
“Aku
pesan 1 kotak kue mangkok merah muda ya” suara dimasalalu itu kembali.
Namun
berbeda, sekarang dia tidak sendiri. Disampingnya ada 2 gadis kecil yang kembar
dan didampingi sosok pria yang mapan.
Aku tahu
sekarang, alasan mengapa dia tidak memilihku. Cukup sudah, kenangan tak
berujung ini. Aku menerimanya dengan lapang dada, kalo itu sudah takdirku.
Komentar
Posting Komentar