#1stWeek
Hari demi hari ku lewati tanpa beban sedikitpun. Aku merasa bahagia menjalani waktu demi waktu yang seakan cepat berputar. Hari itu, kami memulai suatu sejarah yang menambah jumlah momen tak terlupakan dalam hidupku. Jujur, saat diberitahu bahwa kami berkesempatan untuk bertemu setiap delapan hari sekali, itu adalah hal yang membuatku bersukacita. Aku selalu menanti-nantikan hari itu. Ku berusaha sabar untuk menunggu momen dimana aku bisa mencurhakan semua rutinitasku hanya untuk sekedar berbicara banyak kepadanya. Aku menyiapkan topik-topik bahasan bak materi presentasi untuk mata kuliah yang sulit namun aku sukai.
Hari Jumat, ya aku ingat sekali hari
itu. Hari dimana kami kembali tersenyum satu dengan yang lainnya. Tanpa
basa-basi kami langsung berbincang dengan hebohnya. Seakan kami tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan emas dimana kami bisa bertemu. Karena kami sama-sama
tahu bahwa delapan hari kedepan kami tidak akan bisa berkomunikasi seperti
biasanya. Hari itu kami menikmati sepanjang perjalanan kami yang berisikan
celotehan-celotehan yang sama-sama kami lontarkan. Tapi sayang, hari itu
berlalu sangat cepat. Karena jadwal kegitanku yang padat membuat waktu bersama
kami terpotong karena adanya rapat dan deadline tugas yang mengharuskan ku untuk
fokus kepada hal itu ketimbang dengan kebersamaan kami.
Kesal. Dia sangat kesal. “Udah tahu
cuma ketemu sekali, jadwalnya dibuat padat lagi”. Kalimat itu terlontar begitu
saja tanpa ku ketahui. Adik perempuannya yang sekaligus aku panggil kakak karena
perbedaan umur kami setahun melaporkan kekesalan yang diucapkan oleh kakak
laki-lakinya tersebut. Tawa kecilku diiringi rasa bersalah pun berkecambuk
menjadi satu. Bukan karena maksudku ataupun keinginanku, tapi karena keadaan
dan tanggung jawab yang membuatku harus mengorbankan satu hari bersejarah
tersebut. Sekali lagi, bukan maksudku.
Kami tutup hari itu dengan salam
perpisahan yang sebenarnya tidak rela untuk terucap. “Daaa… Hati-hati yaa” ku
sampaikan sambil melambaikan tannganku. Berharap Ia tetap berada di depanku
sampai waktu menandakan habis untuk hari itu. Tetapi, egois jika aku paksakan
kehendakku. Tidak, aku tidak mau menyakitinya. Jam menunjukkan pukul 22:30
malam. Sudah seharusnya Ia pulang dan beristirahat. Sekalipun ku masih
menginginkan raga nya menemaniku, tapi apa daya aku juga tidak ingin membuatnya
sakit. Lebih baik aku merelakannya untuk delapan hari kedepan. Karena menjaga
nya juga menjadi kewajibanku sebagai patner yang berjuang untuk berproses
bersamanya.
Komentar
Posting Komentar